Jumat, 25 November 2011

SHU Koperasi Akzo


PEMBAGIAN SHU DARI KOPERASI AKZO PER 31 JUNI 2011

  1. Kekayaan Bersih
Jumlah kekayaan bersih koperasi nilam adalah sebagai berikut :
a. Simpanan anggota                 Rp.53.150.000
b.SHU 2011                            Rp.  4.395.000
Kekayaan Bersih                      Rp.57.545.000


SHU SIMPANAN ANGGOTA
KOPERASI AKZO
PER JUNI 2011

NO.                 NAMA                        JUMLAH SIMPANAN           SHU TH2011
1.                     JONI                           98.000                                     41.000
2.                     ABDUL                       152.270                                   64.500
3.                     REZA                          90.500                                     38.000
4.                     EDU                            119.500                                   50.500
5.                     ALI                              94.500                                     39.974


SHU PINJAMAN ANGGOTA
KPERASI AKZO
PER JUNI 2011
NO                  NAMA                        JASA THN2011                      SHU TH 2011
1.                     JONI                           181.000                                   43.648
2.                     ABDUL                       200.000                                   48.000
3.                     REZA                          536.000                                   129.873
4.                     EDU                            41.000                                     9.934
5.                     ALI                              10.500                                     2.544




Jasa Simpanan Anggota                        = 234.000
Jasa Pinjaman Anggota             = 234.000 +
Jasa Anggota                                        = 468.000

% Jasa Simpanan Anggota                    = 234.000  x 100%
                                                               554.770
                                                            = 42,17%
% Jasa Pinjaman Anggota                     = 234.000  x 100%
                                                                968.500
                                                            = 24,16 %

Jasa Setiap Anggota :
  1. Joni         : Jasa Simpanan  : 41.326
     Jasa Pinjaman   : 43.729
  1. Abdul      : Jasa Simpanan : 64.212
     Jasa Pinjaman   : 48.320
  1. Reza       : Jasa Simpanan : 38.163
                Jasa Pin jaman   : 129.497
  1. Edu         : Jasa Simpanan : 50.393
     Jasa Pinjaman  : 9.905
  1. Ali          : Jasa Simpanan : 39.850
    Jasa Pinjaman   : 2.536

Ekonomi Koperasi "Globalisasi dan Indonesia 2030"


Globalisasi dan Indonesia 2030
Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional bruto dunia bakal dikuasai Asia. China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia, diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi Indonesia waktu itu?
China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi, di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal, barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara.
Globalisasi ekonomi dan globalisasi korporasi juga memunculkan barisan korporasi dan individu pemain global baru. Lima tahun lalu, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar sudah bukan lagi ada di tangan negara atau teritori, tetapi di tangan korporasi.
Pendapatan WalMart, jaringan perusahaan ritel AS, pada tahun 2001 sudah melampaui produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebagai negara. Penerimaan perusahaan minyak Royal Dutch Shell melampaui PDB Venezuela, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang berpengaruh.
Pendapatan perusahaan mobil nomor satu dunia dari AS, General Motor, kira-kira sama dengan kombinasi PDB tiga negara: Selandia Baru, Irlandia, dan Hongaria. Perusahaan transnasional (TNCs) terbesar dunia, General Electric, menguasai aset 647,483 miliar dollar AS atau hampir tiga kali lipat PDB Indonesia.
Begitu besar kekuatan uang dan pengaruh yang dimiliki korporasi-korporasi ini sehingga mampu mengendalikan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan dan menentukan arah pergerakan perdagangan dan perekonomian global.
Pada awal dekade 1990-an terdapat 37.000 TNCs dengan sekitar 170.000 perusahaan afiliasi yang tersebar di seluruh dunia. Tahun 2004 jumlah TNCs meningkat menjadi sekitar 70.000 dengan total afiliasi 690.000. Sekitar 75 persen TNCs ini berbasis di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang, dan 99 dari 100 TNCs terbesar juga dari negara maju.
Namun, belakangan pemain kelas dunia dari negara berkembang, terutama Asia, mulai menyembul di sana-sini. Dalam daftar 100 TNCs nonfinansial terbesar dunia (dari sisi aset) versi World Investment Report 2005, ada nama seperti Hutchison Whampoa Limited (urutan 16) dari Hongkong, Singtel Ltd (66) dari Singapura, Petronas (72) dari Malaysia, dan Samsung (99) dari Korea Selatan.
Sementara dalam daftar 50 TNCs finansial terbesar dunia, ada tiga wakil dari China, yakni Industrial & Commercial Bank of China (urutan 23), Bank of China (34), dan China Construction Bank (39).
Lompatan besar
Menurut data United Nations Conference on Trade and Development, pada tahun 2004 China adalah eksportir terbesar ketiga di dunia untuk barang (merchandise goods) dan kesembilan terbesar untuk jasa komersial, dengan pangsa 9 dan 2,8 persen dari total ekspor dunia.
Volume ekspor China mencapai 325 miliar dollar AS tahun 2002 dan tahun lalu 764 miliar dollar AS. Manufaktur menyumbang 39 persen PDB China. Output manufaktur China tahun 2003 adalah ketiga terbesar setelah AS dan Jepang. Di sektor jasa, China yang terbesar kesembilan setelah AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Spanyol.
Sementara India peringkat ke-20 eksportir merchandise goods (1,1 persen) dan peringkat ke-22 untuk jasa komersial (1,5 persen). Produk nasional bruto (GNP) China tahun 2050 diperkirakan 175 persen dari GNP AS, sementara GNP India sudah akan menyamai AS dan menjadikannya perekonomian terbesar ketiga dunia, mengalahkan Uni Eropa dan Jepang.
Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-19 lalu.
China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global.
Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negara-negara maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini.
Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing, bisa dilihat dari data WTO berikut.
Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8 persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen.
Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6 persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000), sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.
Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat tinggi—ini semakin mempertegas posisi China sebagai the world’s factory memasuki abad ke-21.
Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu complicated dan bernilai tambah rendah.
Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk komputer, kamera, televisi, dan sebagainya.
China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan masih banyak lagi.
Inovasi
Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil memproduksi barang-barang berteknologi tinggi.
Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang mulai berkurang ketersediaannya.
Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana, dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen.
Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang sangat jelas untuk sampai ke sana.
Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.
Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer.
Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru.
Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi, perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.
Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat di tabel. Di sini kelihatan China sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya.
Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi dengan membongkar ”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991. India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.
Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi dan perancangan produk.
Pragmatisme
Bagaimana dengan Indonesia? Prinsip globalisasi adalah adanya pembagian kerja untuk mencapai efisiensi. Sinyalemen bahwa Indonesia dengan tenaga kerja melimpah dan upah buruh murah hanya kebagian industri ”peluh” (sweatshop) seperti pakaian jadi dan alas kaki dalam rantai kegiatan produksi global, terbukti sebagian besar benar.
China, India, dan Malaysia juga memulai dengan sweatshop, tetapi kemudian mampu meng-upgrade industrinya dengan cepat. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kebijakan Indonesia menghadapi globalisasi sendiri selama ini lebih didasarkan pada sikap pragmatisme.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Hadi Soesastro (Globalization: Challenge for Indonesia) mengatakan, kebijakan pemerintah menghadapi globalisasi tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi lebih pada penilaian obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lain.
Apalagi, saat itu di antara negara-negara di kawasan Asia sendiri ada persaingan, berlomba untuk meliberalisasikan perekonomiannya agar lebih menarik bagi investasi global. Momentum ini didorong lagi oleh munculnya berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi regional seperti AFTA dan APEC.
Pemerintah meyakini melalui liberalisasi pasar, industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia akan bisa menjadi kompetitif secara internasional. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Indonesia sudah mulai meliberalisasikan dan menderegulasikan rezim perdagangan dan investasinya.
Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai program liberalisasi ekonomi dengan liberalisasi rezim devisa.
Namun, dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tak koheren serta diskriminatif karena sering kali tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong terjadinya persaingan yang sehat.
Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelese atau KKN dengan penguasa.
Kini Indonesia terkesan semakin gamang menghadapi globalisasi, terutama di tengah tekanan sentimen nasionalisme di dalam negeri. Di pihak pemerintah sendiri, karena menganggap sudah sukses melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjustment) ekonomi, pemerintah cenderung menganggap sepele tantangan yang menunggu di depan mata.
Ini tercermin dari sikap taken for granted dan cenderung berpikir pendek. Padahal, tantangan akan semakin berat dan kompleks sejalan dengan semakin dalamnya integrasi internasional. Belum jelas bagaimana perekonomian dan bangsa ini menghadapi kompetisi lebih besar yang tidak bisa lagi dibendung.
Jika China yang the world’s factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai saat ini belum berani mencanangkan menjadi apa pun atau mengambil peran apa pun di masa depan. Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya serta membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit dan buruh.
Menurut seorang panelis, yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2030 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berdaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

Minggu, 06 November 2011

Sistem ekonomi kerakyatan melalui geerakan koperasi

SISTEM EKONOMI KERAKYATAN MELALUI
GERAKAN KOPERASI INDONESIA
1. Pendahuluan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dan sebagainya yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Pengertian demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : “Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu faktor-faktor  produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Keikutsertaan anggota masyarakat dalam memiliki faktor-faktor produksi itulah antara lain yang menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi. Sehubungan dengan itu, Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta, berulangkali memebedakannya secaradiametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain, seperti dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu diikutsrtakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta, “Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama. Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan yang menjadi ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing.
Berdasarkan keterangan tersebut, kiranya jelas, karakter utama ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi pada dasarnya terletak pada dihilangkannya watak individualistis dan kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro hal itu antara lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai anggota koperasi atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu berarti ditegakkannya kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakannya kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang-seorang.  
2. Pasar Bebas , Otonomisasi dan Perekonomian Rakyat
Gejala pasar bebas sebagai bagian dari kecenderungan perekonomian dunia mulai terlihat pada 1980-an. Perubahan tatanan perekonomian dunia tersebul ditandai dengan terjadinya pengaturan preferensi perdagangan baik tarif maupun non tarif oleh negara-negara maju. Perubahan mendasar ini dilatarbelakangi oleh semakin tingginya proteksionisme di negara-negara berkembang. Pengaturan preferensi perdagangan secara langsung mempengaruhi pembangunan di banyak negara berkembang.
Untuk menangkal dampak negatif dari perubahan pereknomian tersebut memang sudah dikeluarkan berbagai kebijaksahaan yang seharusnya sudah terkait dengan tujuan pembangunan untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Berbeda dengan strategi pembangunan perekonomian pada dasawarsa sebelumnya yang menekankan pada pembangunan ke sisi penawaran (supply side strategic), yang ditandai dengan pembangunan industri substitusi import, dengan adanya globalisasi seharusnya orientasi pembangunan diarahkan pada sisi permintaaan (demand side strategies). Namun berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan nampaknya juga belum mampu mendominankan sisi permintaan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan sebagian besar warga masyarakat. Hal yang demikian memaksa pemerintah untuk kembali memilih sistem perekonomian yang mampu mentransformasikan rakyat menjadi lebih sejahtera, melalui pengembangan konsep sistem ekonomi kerakyatan.
            Sistem ekonomi kerakyatan mencakup semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh dan untuk kepentingan orang banyak, baik dalam kedudukannya sebagai produsen, pedagang maupun konsumen. Berdasarkan batasan tersebut jelaslah bahwa sistem ekonomi kerakyatan mempunyai dimensi yang luas dan mencakup jumlah penduduk yang sangat besar.
            Usaha kecil merupakan usaha ekonomi rakyat yang tersebar tidak merata, dan terbanyak adalah di sektor pertanian yaitu mencapai 31,1 juta unit, kemudian diikuti oleh sektor informal 4,2 juta unit. Diketahui bahwa usaha tani di Indonesia produktifitasnya relatif rendah, demikian juga nilai tukarnya sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut semakin diperparah lagi dengan sangat kecilnya rata-rata pemilikan lahan, sehingga sebagian besar usaha tani tidak mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. Demikian juga dengan sektor informal, sektor ini merupakan sektor peralihan yang produktifitasnya paling rendah di antara semua sektor perekonomian. Dari sini terlihat bahwa selama era orde baru, usaha kecil hanya berpeluang berkembang di sektor-sektor yang memiliki nilai tambah realtif rendah. Dengan demikian adalah wajar jika kemampuan pengembangan usaha mereka juga rendah, serta tingkat kesejahteraan juga memprihatinkan.
Berbagai Upaya untuk mengaitkan pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pembangun usaha besar telah dilakukan antara lain melalui program kemitraan usaha. Tetapi keberhasilannya tidak nyata, bahkan ada kecenderungan terjadinya ekploitasi terhadap pengusaha kecil tersebut oleh usaha besar. Dampak negatif dari bentuk kemitraan tersebut sangat mungkin terjadi, karena kemitraan yang dibentuk antara dua pelaku ekonomi dengan posisi tawar yang tidak berimbang, level playing field yang sangat berbeda. Satu-satunya solusi yang kemudian dikembangkan untuk memberdayakan usaha kecil sebagai unsur utama ekonomi rakyat adalah melalui pengembangan kelembagaan usaha koperasi. 


3. Kendala dan Reposisi Koperasi
Sejalan dengan ide pengembangan eksistensi koperasi, dalam kondisi krisis ekonomi, gIobaIisasi/liberalisasi ekonomi dunia sekarang ini, upaya untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan koperasi adalah sangat penting. Keikutsertaan warga masyarakat sebagai pelaku ekonomi tersebut diperlukan dalam upaya mencapai sasaran-sasaran makro pembangunan ekonomi yaitu penyembuhan ekonomi nasional. Hal tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa pembangunan koperasi tidak dapat lagi hanya disandarkan pada pendanaan dari pemerintah, terlebih lagi dengan kondisi keuangan pemerintah sekarang ini yang semakin menyempit karena lebih banyak bersandar pada pinjaman dari luar negeri (terutama IMF).
Melihat perkembangan akhir-akhir ini jelas tidak tampak adanya reformasi di bidang ekonomi lebih-Iebih di sektor moneter, bahkan kecenderungan yang ada, adalah untuk membangun kembali usaha konglomerat yang hancur dengan cara mengkonsentrasi kemampuan keuangan dengan rekapitulasi bank-bank. Dalam menghadapi situasi seperti ini, alternatif terbaik bagi koperasi dan usaha kecil adalah menghimpun kekuatan sendiri, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan politis, atau baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mereka harus membangun koperasi, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan dalam satu kiprah yang simultan, Dengan berkoperasi mereka dapat menghimpun kekuatan kecil-kecil yang ada padanya, untuk digerakan dan diarahkan dalam rangka memperbaiki posisi ekonominya. Dengan menguatnya posisi ekonomi dari mereka, pada gilirannya posisi politisnya pun akan membaik sehingga posisi tawar mereka akan menguat, yang pada gilirannya eksistensinya dalam penentuan kebijaksanaan perekonomian nasional juga akan semakin membaik. Hal tersebut dimungkinkan karena koperasi memiliki peluang yang cukup besar mengingat potensi ekonomi anggota koperasi walaupun kecil-kecil tetapi sangat banyak dan tersebar, sehingga mampu membentuk kekuatan yang cukup besar baik dari aspek produksi, konsumsi maupun jasa-jasa.

Namun pada saat yang sama, pembangunan sistem ekonomi ini juga mengalami suatu kendala yang besar. Permasalahan yang dihadapi dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan khususnya koperasi adalah masalah struktural dengan berbagai cirinya. Misalnya saja, masalah kelemahan pengelolaan/manajemen dan kelangkaan akan modal. Kelemahan pengelolaan/ manajemen disebabkan olen tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat masih terbatas. Sedangkan kelangkaan akan modal disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat kita umumnya masih lemah, dan justru dengan berkoperasi mereka bersatu dan berupaya untuk tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang lebih kuat dan dapat diandalkan.
Permasalahan yang dihadapi koperasi dalam tiga dekade terakhir ini dapat dikemukakan sebagai berikut 
a.      Kelembagaan Koperasi
Sejumlah masalah kelembagaan koperasi yang memerlukan langkah pemecahan di masa mendatang meliputi hal-hal:
1) Kelembagaan koperasi beum sepenuhnya mendukung gerak pengembangan usaha. Hal ini disebabkan adanya kekuatan, struktur dan pendekatan pengembangan kelembagaan yang kurang memadai bagi pengembangan usaha. Mekanismenya belum dapat dikembangkan secara fleksibel untuk mendukung meluas dan mendalamnya kegiatan usaha koperasi. Aspek kelembagaan yang banyak dipermasalahahkan antara lain adalah daerah kerja, model kelembagaan koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi jasa, serta pemusatan koperasi.
 2) Alat perlengkapan organisasi koperasi belum sepenuhnya berfungsi dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan oleh:
a) Pengurus dan Badan Pemeriksa (BP) yang terpilih dalam rapat anggota serta pelaksana usaha pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, sehingga kurang mampu untuk melaksanakan pengelolaan organisasi, manajemen dan usaha dengan baik, serta kurang tepat dalam menanggapi perkembangan lingkungan.
b) Mekanisme hubungan dan pembagian kerja antara Pengurus, Badan Pemeriksa dan Pelaksana Usaha (Manajer) masih belum berjalan dengan serasi dan saling mengisi.
c) Penyelenggaraan RAT koperasi masih belum dapat dilakukan secara tepat waktu dan dirasakan masih belum sepenuhnya menampung kesamaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari pada anggotanya. 
b.     UsahaKoperasi
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha koperasi tidak dapat dipisahkan dari masalah kelembagaan serta alat kelengkapan organisasi koperasi dan kemampuan para pengelolanya seperti yang diuraikan di atas. Adapun masalah yang berkaitan dengan pengembangan usaha adalah :
1) Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia.
2) Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.
3) Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.
4) Keterbatasan jumlah dan jenis sarana usaha yang dimiliki koperasi, dan kemampuan para pengelola koperasi dalam mengelola sarana usaha yang telah dimiliki.
5) Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta. 
c.      Aspek Lingkungan
Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut
1)    Kemauan politik yang kuat dari amanat GBHN 1999-2004 dalam upaya pengembangan koperasi, kurang diikuti dengan tindakan-tindakan yang konsisten dan konsekuen dari seluruh lapisan struktur birokrasi pemerintah.
2)    Kuran adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.
3)    Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.
4)    Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
5)    Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar dikembangkan.
6)    Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.


Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan reposisi peran koperasi yang secara mandiri dilakukan oleh koperasi dan pengusaha kecil. Keikutsertaan pemerintah dalam program ini dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator, melalui suatu mekanisme yang menempatkan koperasi dan usaha kecil sejajar dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dan perusahaan milik pemerintah. Strategi tersebut merupakan langkah yang perlu diLempuh berdasarkan pemikiran bahwa dengan program ini memungkinkan  permasalahan yang dihadapi koperasi dapat ditangani sekangus. Dalam hal ini, selain koperasi memiliki kesempatan untuk eksis dalam usaha-usaha yang selama ini seakan "diharamkan" untuk koperasi, seperti dalam pengelolaan hutan dan ekspor/impor. Program ini juga sekaligus juga dapat membuktikan bahwa koperasi dan usaha kecil mampu berperan sebagai kelembagaan yang menopang pemberdayaan ekonomi rakyat dalam sistem ekonomi kerakyatan. 
4. Pola Reposisi Peran Koperasi
            Keberhasilan koperasi dalam melaksanakan peranannya antara lain sangat ditentukan faktor-faktor sebagai berikut:
a.      Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak antara lain dengan cara: 1) Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan dari anggota; 2) Memperpendek jaringan pemasaran; 3) Memiliki alat perlengkapan organisasi yang berfungsi dengan baik seperti pengurus, Rapat Anggota, dan Badan Pemeriksa, serta manajer yang terampil dan berdedikasi; 4) Memiliki kemampuan sebagai suatu unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.
b.      Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara penumpukan modal anggota;
c.      Penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia secara optimal untuk mempertinggi efisiensi.
d.      Terciptanya keterampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh anggota secara sendiri-sendiri.
e.      Pembebanan resiko dari anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya kembali ditanggung secara bersama oleh anggotanya.
f.        Pengaruh dari koperasi terhadap anggota yang berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku yang lebih sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan, diantaranya perubahan teknologi, pasar dan dinamika masyarakat. . 
5. Pelaksanaan Program Reposisi Peran Koperasi
            Untuk mencapai tujuan dan sasaran atas dasar bidang prioritas, maka dalam upaya melakukan reposisi peran koperasi diperlukan perencanaan program yang terarah dan terencana, sehingga diharapkan koperasi akan menjadi lembaga ekonomi yang kuat, dan mampu tumbuh dan kembang dengan kekuatan sendiri. Untuk itu ditetapkan empat pendekatan dasar yaitu:
a.      Proses, karena perkembangan koperasi merupakan rentang perubahahan ke arah kemajuan.
b.      Metode, karena pembangunan koperasi menempuh cara-cara yang terencana dan terpadu diatas disiplin keteraturan dan kesinambungan sehingga dapat mendorong perkembangan koperasi.
c.      Program, karena perkembangan koperasi merupakan paduan dari berbagai kegiatan, berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan, dan kebutuhan masyarakat kecil baik di daerah perkotaan maupun pedesaan;
d.      Gerakan, karena pertumbuhan dan perkembangan koperasi sesungguhnya merupakan suatu gerakan yang bersumber dari cita-cita kemasyarakatan, yang ingin diwujudkan bersama sesuai dengan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Ke empat pendekatan tersebut merupakan satu kesatuan pendekatan yang harus diterapkan secara komprehensif sesuai dengan tahap-tahap reposisi peran koperasi. 
Adapun kebijaksanaan tersebut meliputi berbagai aspek, yaitu:
1.      Tersedianya kesempatan usaha yang seluas-luasnya beserta tersedianya bantuan fasilitas permodalan dengan syarat yang memadai, untuk pengadaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran yang dibutuhkan.
2.      Kebijaksanaan dalam rangka pemupukan modal melalui simpanan wajib, yang terpusat dan terpadu, di samping melakukan usaha untuk makin menggalakkan kesadaran menabung dari anggota sendiri. Pemupukan modal merupakan pendukung utama bagi terbentuknya lembaga keuangan yang dimiliki oleh koperasi
3.      Kebijaksanaan pembinaan organisasi dan manajemen koperasi melalui pendidikan dan latihan, serta penyediaan bantuan tenaga manajemen yang terampil dan memiliki motivasi serta idealisms koperasi.
4.      Terjalinnya pola kerjasama antara koperasi dalam satu kesatuan jalinan kelembagaan koperasi yang terpadu dan menyeluruh, serta terkait dalam tata ekonomi nasional bersama-sama dengan usaha swasta dan usaha negara.
5.      Terselenggaranya penelitian, pengkajian dan pengembangan perkoperasian secara lebih mantap dan terarah.
6. Agenda Reposisi
            Beberapa agenda reposisi adalah sebagai berikut:
a.      Reposisi Kelembagaan Koperasi, meliputi:
1)     Bagaimana fleksibilitas kelembagaan koperasi dalam mengantisipasi dinamika perubahan akibat globalisasi
2)     Bagaimana peningkatan partisipasi anggota koperasi
3)     Bagaimana pembinaan dan pengembangan manajemen koperasi berdasarkan pengembangan sistem informasi
4)     Bagaimana memanfaatkan perkembangan informasi teknologi untuk penerangan, penyuluhan, pendidikan dan latihan perkoperasian
5)     Bagaimana pengawasan koperasi dalam era transparasi dan bertanggung gugat
6)     Bagaimana peningkatan peranan DEKOPIN dalam pembinaan koperasi, advokasi
b.     Reposisi Pengembangan Usaha Koperasi, meliputi:
1)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan efisiensi dan produktivitas usaha koperasi
2)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan kesempatan usaha bagi koperasi dalam era pasar bebas
3)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan struktur permodalan
4)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan sarana usaha koperasi

c.      Program Penelitian dan Pengembangan Koperasi, meliputi:
1)     Peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan, yang meliputi seluruh aspek pengembangan perkoperasian melalui pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral yang terkoordinasi dan terintegrasi.
2)     Pengkajian dan perumusan pengetahuan perkoperasian dalam rangka penyusunan keilmuan koperasi, sebagai bahan pengajaran ilmu koperasi dalam pendidikan formal.
3)     Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan perkoperasian untuk memberikan masukan yang diperlukan bagi penyusunan pola pengembangan koperasi serta persiapan langkah-langkah bagi usaha membangun koperasi.
4)     Mengembangkan berbagai pola dan perangkat pembangunan koperasi baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang meliputi aspek-aspek manajemen personil, permodalan dan perkreditan, produksi serta pemasaran.
5)     Mengkaji proyek rintisan/percontohan dalam rangka memperoleh sistem dan peralatan teknis yang belum dijadikan pola atau sistem operasional.
6)     Mengembangkan pusat dokumentasi ilmiah dan informasi perkoperasian yang didukung oleh sistem dan jaringan informasi yang menyeluruh dan terpadu, guna memonitor dan mengevaluasi berbagai perkembangan pembangunan koperasi serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.
Disamping melaksanakan kegiatan-kegiatan diatas, dan dalam upaya reposisi peran koperasi juga perlu dilaksanakan kegiatan tambahan yang merupakan upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sarana dan sistem administrasi koperasi secara terpadu melalui peningkatan profesionalisme, idealisme dan dinamika organisasi dengan memanfaatkan sumber daya lembaga pembina koperasi secara optimal. Upaya ini terutama ditujukan guna mendukung proses konsolidasi Gerakan Koperasi. Dalam rangka memantapkan dan menyempurnakan pendayagunaan sarana tersebut perlu disusun kegiatan sebagai berikut:
  1. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan sarana dan prasarana fisik di lingkungan lembaga pembina koperasi, sehingga dapat memperlancar pelaksanaan kegiatan reposisi peran koperasi.
  2. Menyempurnakan dan meningkatkan tatalakasana dan administrasi di lingkungan lembaga pembina koperasi yang menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya dalam mendukung pembangunan perkoperasian pada khususnya, melalui penyempurnaan dan peningkatan proses perumusan/ penyusunan kebijaksanaan, rencana, program, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pelaksanaan gerakan serta kegiatan reposisi peran koperasi.
  3. Memantapkan dan menyempurnakan sistem pengawasan di lingkungan lembaga pembina koperasi, baik pengawasan fungsional internal maupun pengawasan eksternal. Dalam hubungan ini perlu disempurnakan dan dimantapkan lebih lanjut sistem informasi manajemen untuk mendukung pelaksanaan proses monitoring dan evaluasi berbagai program pembinaan perkoperasian secara transparan.
  4. Meningkatkan kerjasama antara gerakan dan lembaga pembina koperasi dalam rangka mewujudkan keterpaduan konsistensi pelaksanaan kebijaksanaan dan program pengembangan koperasi dengan pengembangan sektor lainnya.
7. Penutup
Sebagai pedoman dasar dan arah yang jelas bagi pelaksanaan pembangunan koperasi dalam era reformasi, maka di perlukan adanya Konsep Dasar Reposisi Peran Koperasi yang diaplikasikan dalam bentuk ”Pola Dasar Pengembangan Peran Koperasi”. Pola dasar tersebut memuat tujuan, pendekatan, manfaat dan sasaran reposisi peran koperasi.
Pelaksanaan konsep dasar reposisi peran koperasi tersebut, memerlukan penjabaran-penjabaran lebih lanjut secara teknis pada setiap tahun dalam bentuk Rencana Operasional Pengembangan Peran Koperasi (ROPPK), agar terjadi kesamaan gerak langkah dalam kegiatan operasional antar koperasi di lapangan. Atas dasar ROPPK, secara operasional tiap-tiap koperasi perlu mempertimbangkan potensi kondisi dan situasi di daerahnya atau sesuai dengan kondisi lokal spesifik.
Pedoman dasar dan arah pengembangan koperasi ini baru akan bermanfaat jika dilaksanakan secara konsisten dan bersungguh-sungguh. Di samping itu, partisipasi aktif para pengusaha kecil yang anggota koperasi, juga sangat menentukan keberhasilan pembangunan koperasi. Karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi mereka perlu dikembangkan secara terus menerus, melalui pembuktian kongkrit manfaat koperasi dan tidak hanya melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan yang lebih bersifat normatif.