Kamis, 22 Desember 2011

Contoh Kasus Peti mati

Hari Senin kemarin (6/6) , kota Jakarta dihebohkan dengan 100 peti mati yang dikirimkan ke beberapa media dan puluhan kantor advertising. Awalnya ini diduga teror kepada media-media, terutama mereka yang kritis pada pemberitaan tertentu. Namun di siang hari terungkap ini jurus marketing dari sebuah perusahaan advertising Buzz&Co, agar terkenal sekaligus launching buku “Rest In Peace Advertising”.
Kepanikan dan kehebohan tentu saja melanda kantor-kantor yang mendapat kiriman peti mati tersebut. Beberapa media seperti Koran Tempo, Detik.com, Jakarta Post, Metro TV, Kompas.com dll, segera menghubungi pihak kepolisian. Masih segar dalam ingatan publik, beberapa waktu lalu ada teror bom buku yang dikirim kepada beberapa tokoh. Lalu ini dikirimi peti mati, walaupun kosong – tidak ada bom --- tetapi ada secarik tulisan www.restinpeacesoon.com dengan disertai nomer, misalnya 666. Konon website ini tidak bisa diakses, dan bila memasukkan nomer/kode tersebut baru bisa diakses.
Alhasil ‘teror’ ini cukup sukses  merepotkan banyak pihak. Akhirnya Kepolisian mampu menemukan (atau memang dipermudah, kan untuk marketing) pengirim peti mati ini, yaitu Sumardy , CEO Buzz&Co sebuah perusahaan advertivising yang berkantor di gedung Mayapada. Konon hari ini akan diputuskan apakah Sumardy ini akan dijadikan tersangka atau tidak. Jika tersangka, pasal 335 tentang perbuatan yang tidak menyenangkan yang akan dikenakan pada Sumardy.
Sebagian dari publik menganggap ini hanya lelucon dan mengapresiasi positif tentang jurus marketing baru ini. Secara hokum, Sumardy mempunyai celah untuk bebas, karena dengan cara pandang yang berbeda, semua aktivitas yang dia lakukan bukanlah teror. Peti mati hanyalah simbol untuk mengatakan jurus-jurus marketing konvensional sudah ketinggalan jaman. Kode-kode atau nomer yang dia kirim adalah akses masuk ke websitenya, dan hanya orang-orang tertentu saja yang mengerti.
Dari sudut pandang Sumardy, tentu semua benar. Tetapi dia mengabaikan (dan kecenderungan marketing umumnya) nilai-nilai sosial maupun kegelisahan masyarakat. Pada cara pandang yang umum, wajar bila para perusahaan media yang mendapat kiriman peti mati panik, karena teror ke media sudah sering terjadi, mulai dari bom molotov, celana dalam, kepala binatang, dll. Dan terakhir radio 68H mendapatkan bom buku. Otomatis publik pun akan tergiring berpikir peti mati ini adalah teror. Aku kira Sumardy tahu persis soal ini, dan justru memanfaatkan momen ini supaya heboh.
Apa yang dilakukan marketing peti mati ini merusak kepercayaan masyarakat . Maraknya teror bom membuat masyarakat meningkatkan kewaspadaannya. Pihak kepolisian juga tak henti-henti mengajak masyarakat untuk lebih waspada. Dampaknya bisa kita lihat , bagaimana masyarakat kemudian mudah melaporkan bila ada tas atau bungkusan plastik tak bertuan. Tetapi dengan adanya marketing peti mati ini, justru kewaspadaan itu dijadikan lelucon dan sekedar untuk mencari publisitas (baca= cari klien). Tujuan Buzz&Co memang tercapai, orang jadi tahu nama perusahaan ini. Sekian orang mengacungi jempol atas jurus ini. Tetapi apakah Sumardy dkk kemudian peduli pada dampak selanjutnya? Sebagian warga kemudian menjadi tak acuh pada lingkungannya, dan semua dianggap hanya lelucon saja.
Praktek marketing seperti itu – yang mengabaikan etika – sebenarnya sudah lama terjadi di Indonesia. Lihat saja iklan di TV. Terutama di produk obat yang sering menggunakan sosok dokter atau seolah-olah seperti dokter dengan memakai baju putih, dan menekankan khasiat obat tersebut. Padahal di dunia medis, iklan seperti itu dilarang. Akibatnya sebagian pemirsa akan percaya pada obat tersebut, karena ‘dokter’ yang bicara di TV. Penyesatan yang lebih halus tapi lebih ngawur, terlihat di iklan kosmetik. Misalnya ada perempuan yang putus dengan pacarnya, karena kulitnya hitam. Setelah memakai kosmetik tertentu, jadi putih dan pacarnya kembali.  Baru-baru ini, aku mendengar ada acara Fun Bike dengan slogan Go Green, tetapi sponsor utamanya adalah perusahaan rokok. Sungguh ironis.
Tujuan dari sebuah aktivitas marketing adalah mempunyai sebuah merek atau produk dikenal oleh pasar. Tidak ada yang salah dengan tujuan ini. Namun dalam cara mencapainya , kadang kala orang-orang marketing memakai kacamata kuda, menutup diri pada dimensi-dimensi lain dari kehidupan, yang penting tercapai tujuan.
 Mungkin istilah kacamata kuda kurang tepat, karena seperti yang dilakukan Sumardy dan Buzz&Co, justru sangat melihat dan mendengar  apa yang sedang dirasakan masyarakat saat ini , atau istilah yang suka dipakai : insight konsumen. Dan memakai insight itu untuk kepentingan bisnis. Saat ini masyarakat lagi gelisah soal teror bom, maka ini saat yang tepat untuk mempromosikan produk tertentu dengan insight tersebut.  Kira-kira demikian alur berpikir Sumardy dkk itu. Tetapi mereka tidak memperdulikan dampak sosial seperti kerusakan “trust” / kepercayaan, tingkat kewaspadaan masyarakat, dstnya.
Pada tataran hukum, memang sebaiknya Sumardy dkk mendapat hukuman pidana, agar menimbulkan efek jera bagi yang lain. Ini mungkin setara dengan kasus-kasus sebelumnya, ada orang iseng yang menelepon sebuah gedung dan mengatakan ada bom di situ. Bedanya motif orang-orang itu ada yang murni iseng, ada yang sakit hati dengan salah satu orang di gedung itu, sementara motif Sumardy adalah bisnis, cari uang lewat sensasi.
Secara sosial, masyarakat juga perlu memberi sanksi kepada Sumardy, Buzz&Co. Sanksinya sederhana, jangan pakai lagi advertising ini, bahkan jangan percaya pada produk-produk keluaran mereka. Ketika mereka merusak kepercayaan sosial, masihkah kita percaya pada ‘kreativitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar