PENDAHULUAN
Pengalaman kita bernegara pada tiga dekade terakhir memperlihatkan masalah-masalah berat di berbagai bidang. Salah satunya adalah keadaan perekonomian yang menjadi demikian morat-marit meliputi berbagai seginya. Dari mulai rantai produksi, distribusi maupun finansial, serta lembaga intermediasi keuangan, seperti perbankan dan lembaga keuangan lainnya di negeri ini mengalami suatu tekanan dan masalah yang luar biasa hebatnya.
Bahwa kegiatan ekonomi ini, keseluruhannya dilakukan oleh manusia, sehingga bisa dikatakan bahwa sumber dari segala sumber persoalan yang muncul adalah kembali kepada kualitas manusia yang melakukan kegiatan perekonomian tersebut.
Konsepsi pengaturan perekonomian yang diatur oleh Undang-Undang Dasar negara yang berlaku, terpulang pula kepada kemampuan pengelolanya, baik di sektor pemerintah, swasta maupun koperasi. Sebaik apapun sistem itu dibuat, maka unsur kemampuan dan itikad baik dari penyelenggara negara dan penyelenggara perekonomian ini sangatlah menentukan keberhasilannya.
Kita telah menyaksikan drama ekonomi Indonesia, sebagai negara yang secara potensial sangat kaya namun telah terperosok pada jurang perekonomian yang bermasalah sangat berat.
Peluang usaha yang terjadi selama tiga dekade terakhir ternyata tidak membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi yang tinggi. Perkembangan usaha swasta, diwarnai berbagai kebijakan pemerintah yang kurang pas sehingga pasar menjadi terdistorsi. Disisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan yang tidak sehat. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak pada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. (Penjelasan UU No.5/99)
Merajalelanya praktek korupsi yang sudah sedemikian rupa sistemik-nya terjadi hampir disemua lapisan masyarakat. Boleh dikatakan bahwa ujung dari segala persoalan yang ada sekarang ini adalah persoalan korupsi.
Untuk mengatasi berbagai persoalan perekonomian beserta permaslahan yang ruwet ini telah dilahirkan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, telah dijabarkan dalam UU Republik Indonesia No.28 tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN.
Selanjutnya pula telah diundangkannya UU Republik Indonesia No.5 tahun 1999 tanggal 5 Maret 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. Hal ini merupakan landasan serta sekaligus dorongan untuk penciptaan dunia bisnis yang sehat, unggul yang bermoral. Kesemua ini dilandasi pemikiran harus berjalannya etika bisnis yang baik ditanah air. Untuk itulah semua kalangan perlu menciptakan dorongan lebih lanjut agar mencapai sasarannya.
SUATU CONTOH PERMASALAHAN PERBANKAN DI INDONESIA
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri perbankan di Indonesia, diantaranya adalah :
1. Kondisi Keuangan/Kesehatan Bank
Kondisi keuangan yang mencerminkan tingkat kesehatan bank di Indonesia pada masa sebelum krisis dan sesudah krisis adalah kurang baik. Hal ini terbukti :
• Sebagaimana disebutkan dalam Majalah Infobank No. 199 Edisi Juli 1996 Vol XIX, terdapat dua puluh bank yang belum mengumumkan laporan keuangannya seperti yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/5/UPPB tanggal 25 Januari 1995. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, terjadi karena adanya kerugian yang cukup besar.
• Struktur keuangan bank di Indonesia khusus bank swasta nasional sangat rapuh, yang terjadi karena ekspansi yang dilakukan sangat berlebihan yang menyebabkan nilai kewajibannya sangat tinggi. Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat sementara ekspansi kredit tetap kuat, terutama ke sektor properti. Dalam pengeloaan valuta asing meningkat tajam seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir.
2. Menurunnya Kepercayaan Masyarakat
Kondisi perbankan kemudian menjadi semakin rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana antarbank secara besar-besaran akibat semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, khususnya sejak pencabutan izin usaha 16 bank pada awal November 1997.
Krisis perbankan berkembang semakin dalam dengan munculnya berbagai isu negatif mengenai kondisi perbankan nasional. Akibatnya, pencabutan izin usaha terhadap 16 bank dan program penyehatan perbankan lainnya yang semula ditujukan untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat justru memperburuk keadaan. Turunnya peringkat (rating) dan gambaran pesimis yang diberikan lembaga pemeringkat internasional kepada perbankan nasional juga telah mengakibatkan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, terhadap perbankan nasional.
Kepanikan masyarakat telah mendorong terjadinya penarikan-penarikan tunai dana perbankan yang cukup besar dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat. Sebagai akibatnya, beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana juga ikut terkena dampak krisis kepercayaan tersebut sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antarbank.
Sementara itu, kredibilitas perbankan nasional juga menurun di luar negeri. Hal ini tercermin dari meningkatnya penolakan bank-bank internasional untuk melakukan transaksi valuta asing dan terhadap letter of credit yang diterbitkan bank-bank nasional.
3. Moral/Hazard
Rendahnya moral/hazard dari pihak-pihak yang berhubungan dengan bank, juga merupakan pemicu terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Pihak – pihak yang berhubungan dengan bank diantaranya adalah Pemilik, Manajemen, Nasabah, pejabat pemerintah dan lainnya.
Moral sangat penting dalam dunia perbankan, mengingat karakteristik industri ini adalah kepercayaan dan beresiko. Rendahnya nilai moralitas mengakibatkan tidak dapat diterapkan sistem prudential banking dan terjadinya pelanggaran aturan yang ditetapkan yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pengawasan. Prilaku seperti ini berakibat pada peningkatan resiko dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat.
Contoh konrit pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam dunia perbankan seperti BMPK, kurang dipenuhinya persyaratan dalam pemberian kredit karena adanya uang sogokan dari nasabah, adanya surat sakti atau kreditur merupakan pihak yang terkait dengan bank, pemberian komisi-komisi atas penanaman dana, adanya pemberian tingkat suku bunga diatas suku bungan penjaminan, membuat kinerja bank semakin berisiko dan tidak berjalan dengan efisien. Pelanggaran seperti ini sering dilakukan oleh pihak pemilik dan manajemen bank serta nasabah bank .
Korupsi juga mempunyai dampak yang cukup significant terhadap industri perbankan. Seperti yang diungkapkan dalam Infobank No. 197, Edisi Mei 1996, Vol. XIX, disebutkan " menurut sejumlah pakar , berbagai pungutan liar itu membebani ekonomi nasional. Hal ini mendorong harga barang menjadi mahal dan akhirnya mebakar inflasi serta mendongkrak bunga menjadi lebih tinggi". Dengan tingkat suku bunga yang tinggi tentunya berdampak pada pengelolaan usaha perbankan menjadi tidak efisien.
Laporan BI akhir 1999 menyebutkan hal-hal sbb :
Laporan BI memperlihatkan betapa masalah rekayasa terhadap asset bank sangatlah parah (Perkembangan Proses Penyelesaian Aset 16 Bank Dalam Likuidasi/BDL)
Total Aset 16 BDL menurut nilai buku per 31 Oktober 1997 yaitu pada saat bank-bank tersebut dilikuidasi berjumlah Rp13,9 triliun. Sebesar Rp11,5 triliun diantaranya merupakan nilai kredit sebelum dikurangi cadangan penghapusan, yang sebagian besar tergolong kredit bermasalah (non performing loan).
Selanjutnya, sampai dengan bulan September 1999, terdapat pencairan aset BDL sebesar Rp2,4 triliun sehingga nilai buku. aset BDL menjadi Rp11,5 triliun. Namun demikian diperkirakan hanya sekitar 45-50% dari aset BDL tersebut yang dapat dicairkan/ditarik, hal ini diakibatkan adanya pemberian kredit tanpa jaminan yang jelas sehingga sulit untuk diperoleh pencairannya, perolehan aset yang nilainya telah di-mark-up oleh pemilik/pengurus bank, dan terdapatnya aktiva tidak berwujud.
Dari sisi pasiva, Bank Indonesia menyediakan dana talangan untuk pembayaran simpanan dana para nasabah BDL sebesar Rp5,6 triliun. Dana talangan tersebut telah dialihkan kepada Pemerintah sebesar Rp5,3 triliun, setelah dikurangi jumlah yang berhasil ditagih oleh Tim Likuidasi. Sampai dengan bulan September 1999, dari hasil pencairan aset yang berasal dari penagihan kredit dan penjualan aktiva tetap serta inventaris bank, sebagian digunakan untuk mengangsur pengembalian dana talangan Pemerintah sebesar Rp0,4 triliun sehingga sisa dana talangan perposisi September 1999 sebesar Rp4,9 triliun. Sementara itu Tim Likuidasi terus mengupayakan penjualan aset serta penagihan kredit macet BDL untuk melunasi kewajiban BDL lainnya.
Rendahnya realisasi pencairan aset BDL disebabkan berbagai kendala antara lain :
(i) sulitnya menjual aset BDL yang sebagian besar merupakan properti baik berupa harta tetap milik bank maupun agunan kredit;
(ii) sebagian kredit yang tergolong bermasalah karena pengikatan hukum terhadap barang jaminannya sangat lemah disamping nilai jaminan yang diserahkan kepada bank tidak mencukupi;
(iii) dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengeksekusi penagihan kredit dan pencairan aset sehingga hasil penjualan bersih tidak mencapai jumlah yang diinginkan;
(iv) Tim Likuidasi tidak memiliki kewenangan hukum yang cukup kuat seperti BPPN, sehingga setiap proses penagihan kredit maupun pencairan aset harus menempuh prosedur hukum yang penyelesaiannya memakan waktu lama.
Mengingat masa tugas Tim Likuidasi masih beberapa tahun lagi (selambat-lambatnya
tahun 2002), diharapkan dalam jangka waktu tersebut upaya penagihan aset/kredit yang dapat digunakan untuk mengembalikan dana Pemerintah dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu akan dilakukan intensifikasi tugas
5. Lemahnya Sistem Pengawasan
Kelemahan manajemen terlihat antara lain dari belum efektifnya pengawasan intern bank dan sistem informasi yang relatif terbatas sehingga pelaksanaan self-regulatory banking yang telah dicanangkan dalam beberapa tahun terakhir belum berkembang dengan baik. Hal ini tercermin dari adanya banykanya pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian meningkat, kecukupan likuiditas dan permodalan perbankan menurun drastis, dan ketergantungan perbankan kepada bantuan likuiditas dari Bank Indonesia naik tajam.
Kelemahan ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang pada perbankan sehingga mendorong peningkatan risiko kegagalan perbankan. Lebih dari itu, kelemahan tersebut juga mendorong pemberian kredit yang terkonsentrasi hanya kepada beberapa debitur, khususnya pada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank. Konsentrasi kredit tersebut telah mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan terhadap kelangsungan usaha debitur dimaksud sehingga krisis yang juga melanda usaha debitur telah memperburuk kinerja perbankan secara keseluruhan.
Sementara itu, belum jelasnya mekanisme penyelesaian bank-bank bermasalah, khususnya exit mechanism, telah menimbulkan moral hazard yang mengarah pada perilaku mengambil risiko tinggi di kalangan perbankan. Tidak adanya sistem penjaminan terhadap simpanan masyarakat telah mengharuskan bank sentral memberikan jaminan terselubung (implicit guarantee) atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan. Selain itu, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia masih kurang efektif terutama karena lemahnya law enforcement dan kurangnya independensi bank sentral. Hal ini diperburuk dengan masih terbatasnya informasi yang tersedia bagi masyarakat mengenai kondisi keuangan suatu bank sehingga kontrol masyarakat terhadap perkembangan perbankan tidak berjalan dengan semestinya.
ETIKA BISNIS DAN MASALAHNYA
Bahwa keadaan tersebut diatas bisa dikatakan berawal dari masalah besar dalam dunia bisnis kita diberbagai sektor kegiatan yang ternyata diliputi oleh berbagai tindakan yang mencerminkan rendahnya etika bisnis. Bahwa istilah KKN juga berkaitan dengan pelanggaran etika bisnis yang sangat elementer. Rasa malu, sudah dirasakan hampir tidak ada. Semua dilihat dari keuntungan materi, finansial yang sangat berjangka pendek. Karenanya praktek bisnis seperti ini sangat mencerminkan kerakusan dan menghasilkan produk yang tidak kompetitif dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan output yang dihasilkan sangat tidak efesien. Secara lebih rinci bisa dilihat, antara lain sebagai berikut ;
Rendahnya Kejujuran. Hal ini banyak terjadi dalam perjalanan kegiatan dunia usaha di negeri kita. Banyak pelaksana bisnis yang mengutamakan keuntungan fiansial dalam jangka pendek, sehingga mengabaikan kejujuran. Tidak bersikap benar, tulus, jernih, langsung, hati terbuka. Dalam langkah bisnisnya cenderung menipu, mencuri, berbohong, memperdayai konsumen, pelanggan, maupun pemerintah.
Tidak memiliki Integritas. Dalam melakukan bisnisnya prinsip utamanya hanya uang dan untung jangka pendek, sehingga langkah yang dilakukannya tidak terhormat, tidak adil, berani dan bertindak dengan dorongan penuh muslihat dan tipu daya dan hawa nafsu dan bermuka dua.
Tidak Mematuhi janji. Dalam bersikap tidak mampu bersikap penuh kepercayaan, tidak mampu memenuhi janji, mematuhi komitmen dan tidak berpegang berpegang pada surat perjanjian, seringkali mengintrepretasikan perjanjian secara tidak masuk akal, baik masalah policy maupun hal teknis dalam rangka upaya merasionalkan tindakan-tindakannya yang menyimpang untuk keuntungan sendiri.
Loyalitas kepada keuntungan jangka pendek, Loyalitasnya hanya kepada keuntungan jangka pendek, dalam hal ini uang. Sehingga sangat terdorong untuk bersikap tidak jujur dan tidak loyal kepada keluarga, teman, atasan, klien, dan negara. Dia akan dengan sangat mudah mengungkapkan informasi rahasia, baik dalam konteks profesional, ataupun teknis, sehingga dia tak mampu menjaga pertimbangan profesional dengan tidak berusaha menghindari pengaruh buruk dan konflik kepentingan.
Tidak mampu berbuat adil. Dalam Bersikap cenderung untuk tidak adil dan pikirannya terfokus pada dirinya sendiri, tidak berniat untuk menghapus kekeliruan, dan mau menang sendiri, komitmennya hanya terhadap dirinya dan usahanya saja. Tidak mampu berlaku sama terhadap orang lain, tidak mau menerima dan bertoleransi terhadap perbedaan, sering kali memanfaatkan kesalahan orang lain untuk mendapatkan keuntungannya sendiri.
Tidak peduli pada orang lain. Bersikap tidak peduli, dan kurang berbelas kasihan, tidak mau berbagi rasa, tidak bersikap memberi, melayani orang lain, memberi pertolongan, terutama pada yang bukan kelompok usahanya, ataupun mengabaikan kepentingan masyarakat banyak
Tidak menghargai orang lain. Tidak Menunjukan penghargaan atas kemuliaan manusia, personalitas, dan hak atas orang. Bersikap kurang ramah dan kurang wajar, tidak mau memberikan informasi yang dibutuhkan orang lain untuk membuat keputusannya sendiri; sehingga cenderung merintangi orang lain.
Kurang tanggung jawab. Cenderung untuk tidak menaati hukum, hukum cederung digunakan untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Cederung pula mengakali hukum.Dalam tindakannya cenderung otoriter, tidak mau melaksanakan semua hak-hak dan tanggung jawab demokrasi melalui partisipasi (pemungutan suara dan pengungkapan pendapat), kesadaran sosial dan pelayanan masyarakat. Jika berada dalam posisi memimpin atau memiliki otoritas, tidak menggunakan proses demokrasi secara terbuka dalam pengambilan keputusan, cenderung pula untuk menyembunyikan informasi, tidak transparan.
Cenderung tidak berupaya untuk mencapai yang terbaik, Berupaya menjadi yang terbaik dalam konteks yang salah, artinya yang penting terkenal. Sehingga dalam memenuhi tanggungjawab perorangan dan profesional, tidak bersikap rajin, cenderung malas-malasan, dalam tindakannya seringkali tidak masuk akal, dan kurang tanggung jawab ; melaksanakan tugas dengan ogah-ogahan. Menyerahkan saja pada orang lain dan tidak mampu mengendalian orang-orangnya. Seringkali melakukan dan bertindak untuk hal-hal yang sia-sia.
Tidak memiliki ketanggung-gugatan. Bersikap tidak bertanggung jawab, tidak mau menerima tanggung jawab terhadap keputusannya, tidak memahami lebih dulu konsekuensi tindakan, dan tidak meberikan contoh pada orang lain.
Tidak untuk melindungi dan tidak ada upaya untuk meningkatkan integritas dan reputasi keluarga, perusahaan, profesi dan pemerintah. Seringkali melempar tanggung jawab, apalagi bila menyangkut pada kerugian yang bersifat finansial.
KORUPSI DAN PERMASALAHANNYA.
Bahwa kaitan dari etika bisnis yang parah ini tampak dari maraknya prkatek korupsi, baik di instansi pemerintah, swasta maupun lembaga-lembaga lainnya. Kesemua ini adalah suatu fakta yang tak terbantahkan. Berbagai institusi resmi dan LSM dalam dan luar negeri telah membuat berbagai data, bahasan dsb. Yang meyimpulkan betapa parahnya korupsi di negri ini. Kita semua merasakan bahwa korupsi terjadi hampir disemua bidang kegiatan. Dari mulai urusan pelayanan sosial masyarakat, pemerintahan, bisnis retail, bisnis bersekala sedang, menengah dan besar. Sampai-sampai hal itu sudah dianggap suatu hal yang biasa saja. Berarti moralitas masyarakat kita memang sudah biasa untuk melakukan sogokan untuk memperlancar urusannya.
Upaya pencegahan korupsi yang sudah berjalan selama ini dan bagaimana upaya untuk lebih mendorong keberhasilan pencegahan korupsi.
Telaah khusus yang dibuat BPKP menyebutkan bahwa, Instansi penegak hukum yang memegang tongkat komado pemberatasan korupsi sejak 1967 yaitu Kejaksaan Agung walupun telah bekerja maksimal, ternyata masih memberikan hasil yang menggembirakan masyarakat dan ironisnya Indonesia malah menduduki ranking pertama se-Asia untuk tingkat korupsi menurut versi Transparancy International per April 1999. Sedangkan aparat pengawasan fungsional lainnya mempunyai tugas pokok dan fungsi yang semata-mata tidak diarahkan untuk memberantas korupsi yaitu antara lain itwilprop, Itjen Departemen, BPKP, dan BEPEKA.
Usaha pemberantasan korupsi sebagai isu sentral perlu ditangani secara serius oleh suatu lembaga/badan yang khusus mengingat korupsi mempunyai karakter kompleks, canggih, dan ruwet serta memerlukan keakhlian tertentu menanganinya.
Urgensi perlu tidaknya suatu Badan Anti Korupsi (badan) masih menjadi perdebatan, akan tetapi BPKP tetap akan mengusulkan suatu Komisi atau Badan tersebut. Hal ini ini dudukung pula oleh bahasan Masyarakat Transparansi Indonesia, serta LSM lainnya.
Pengalaman kita bernegara pada tiga dekade terakhir memperlihatkan masalah-masalah berat di berbagai bidang. Salah satunya adalah keadaan perekonomian yang menjadi demikian morat-marit meliputi berbagai seginya. Dari mulai rantai produksi, distribusi maupun finansial, serta lembaga intermediasi keuangan, seperti perbankan dan lembaga keuangan lainnya di negeri ini mengalami suatu tekanan dan masalah yang luar biasa hebatnya.
Bahwa kegiatan ekonomi ini, keseluruhannya dilakukan oleh manusia, sehingga bisa dikatakan bahwa sumber dari segala sumber persoalan yang muncul adalah kembali kepada kualitas manusia yang melakukan kegiatan perekonomian tersebut.
Konsepsi pengaturan perekonomian yang diatur oleh Undang-Undang Dasar negara yang berlaku, terpulang pula kepada kemampuan pengelolanya, baik di sektor pemerintah, swasta maupun koperasi. Sebaik apapun sistem itu dibuat, maka unsur kemampuan dan itikad baik dari penyelenggara negara dan penyelenggara perekonomian ini sangatlah menentukan keberhasilannya.
Kita telah menyaksikan drama ekonomi Indonesia, sebagai negara yang secara potensial sangat kaya namun telah terperosok pada jurang perekonomian yang bermasalah sangat berat.
Peluang usaha yang terjadi selama tiga dekade terakhir ternyata tidak membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi yang tinggi. Perkembangan usaha swasta, diwarnai berbagai kebijakan pemerintah yang kurang pas sehingga pasar menjadi terdistorsi. Disisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan yang tidak sehat. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak pada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. (Penjelasan UU No.5/99)
Merajalelanya praktek korupsi yang sudah sedemikian rupa sistemik-nya terjadi hampir disemua lapisan masyarakat. Boleh dikatakan bahwa ujung dari segala persoalan yang ada sekarang ini adalah persoalan korupsi.
Untuk mengatasi berbagai persoalan perekonomian beserta permaslahan yang ruwet ini telah dilahirkan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, telah dijabarkan dalam UU Republik Indonesia No.28 tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN.
Selanjutnya pula telah diundangkannya UU Republik Indonesia No.5 tahun 1999 tanggal 5 Maret 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. Hal ini merupakan landasan serta sekaligus dorongan untuk penciptaan dunia bisnis yang sehat, unggul yang bermoral. Kesemua ini dilandasi pemikiran harus berjalannya etika bisnis yang baik ditanah air. Untuk itulah semua kalangan perlu menciptakan dorongan lebih lanjut agar mencapai sasarannya.
SUATU CONTOH PERMASALAHAN PERBANKAN DI INDONESIA
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri perbankan di Indonesia, diantaranya adalah :
1. Kondisi Keuangan/Kesehatan Bank
Kondisi keuangan yang mencerminkan tingkat kesehatan bank di Indonesia pada masa sebelum krisis dan sesudah krisis adalah kurang baik. Hal ini terbukti :
• Sebagaimana disebutkan dalam Majalah Infobank No. 199 Edisi Juli 1996 Vol XIX, terdapat dua puluh bank yang belum mengumumkan laporan keuangannya seperti yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/5/UPPB tanggal 25 Januari 1995. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, terjadi karena adanya kerugian yang cukup besar.
• Struktur keuangan bank di Indonesia khusus bank swasta nasional sangat rapuh, yang terjadi karena ekspansi yang dilakukan sangat berlebihan yang menyebabkan nilai kewajibannya sangat tinggi. Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat sementara ekspansi kredit tetap kuat, terutama ke sektor properti. Dalam pengeloaan valuta asing meningkat tajam seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir.
2. Menurunnya Kepercayaan Masyarakat
Kondisi perbankan kemudian menjadi semakin rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana antarbank secara besar-besaran akibat semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, khususnya sejak pencabutan izin usaha 16 bank pada awal November 1997.
Krisis perbankan berkembang semakin dalam dengan munculnya berbagai isu negatif mengenai kondisi perbankan nasional. Akibatnya, pencabutan izin usaha terhadap 16 bank dan program penyehatan perbankan lainnya yang semula ditujukan untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat justru memperburuk keadaan. Turunnya peringkat (rating) dan gambaran pesimis yang diberikan lembaga pemeringkat internasional kepada perbankan nasional juga telah mengakibatkan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, terhadap perbankan nasional.
Kepanikan masyarakat telah mendorong terjadinya penarikan-penarikan tunai dana perbankan yang cukup besar dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat. Sebagai akibatnya, beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana juga ikut terkena dampak krisis kepercayaan tersebut sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antarbank.
Sementara itu, kredibilitas perbankan nasional juga menurun di luar negeri. Hal ini tercermin dari meningkatnya penolakan bank-bank internasional untuk melakukan transaksi valuta asing dan terhadap letter of credit yang diterbitkan bank-bank nasional.
3. Moral/Hazard
Rendahnya moral/hazard dari pihak-pihak yang berhubungan dengan bank, juga merupakan pemicu terjadinya krisis perbankan di Indonesia. Pihak – pihak yang berhubungan dengan bank diantaranya adalah Pemilik, Manajemen, Nasabah, pejabat pemerintah dan lainnya.
Moral sangat penting dalam dunia perbankan, mengingat karakteristik industri ini adalah kepercayaan dan beresiko. Rendahnya nilai moralitas mengakibatkan tidak dapat diterapkan sistem prudential banking dan terjadinya pelanggaran aturan yang ditetapkan yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pengawasan. Prilaku seperti ini berakibat pada peningkatan resiko dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat.
Contoh konrit pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam dunia perbankan seperti BMPK, kurang dipenuhinya persyaratan dalam pemberian kredit karena adanya uang sogokan dari nasabah, adanya surat sakti atau kreditur merupakan pihak yang terkait dengan bank, pemberian komisi-komisi atas penanaman dana, adanya pemberian tingkat suku bunga diatas suku bungan penjaminan, membuat kinerja bank semakin berisiko dan tidak berjalan dengan efisien. Pelanggaran seperti ini sering dilakukan oleh pihak pemilik dan manajemen bank serta nasabah bank .
Korupsi juga mempunyai dampak yang cukup significant terhadap industri perbankan. Seperti yang diungkapkan dalam Infobank No. 197, Edisi Mei 1996, Vol. XIX, disebutkan " menurut sejumlah pakar , berbagai pungutan liar itu membebani ekonomi nasional. Hal ini mendorong harga barang menjadi mahal dan akhirnya mebakar inflasi serta mendongkrak bunga menjadi lebih tinggi". Dengan tingkat suku bunga yang tinggi tentunya berdampak pada pengelolaan usaha perbankan menjadi tidak efisien.
Laporan BI akhir 1999 menyebutkan hal-hal sbb :
Laporan BI memperlihatkan betapa masalah rekayasa terhadap asset bank sangatlah parah (Perkembangan Proses Penyelesaian Aset 16 Bank Dalam Likuidasi/BDL)
Total Aset 16 BDL menurut nilai buku per 31 Oktober 1997 yaitu pada saat bank-bank tersebut dilikuidasi berjumlah Rp13,9 triliun. Sebesar Rp11,5 triliun diantaranya merupakan nilai kredit sebelum dikurangi cadangan penghapusan, yang sebagian besar tergolong kredit bermasalah (non performing loan).
Selanjutnya, sampai dengan bulan September 1999, terdapat pencairan aset BDL sebesar Rp2,4 triliun sehingga nilai buku. aset BDL menjadi Rp11,5 triliun. Namun demikian diperkirakan hanya sekitar 45-50% dari aset BDL tersebut yang dapat dicairkan/ditarik, hal ini diakibatkan adanya pemberian kredit tanpa jaminan yang jelas sehingga sulit untuk diperoleh pencairannya, perolehan aset yang nilainya telah di-mark-up oleh pemilik/pengurus bank, dan terdapatnya aktiva tidak berwujud.
Dari sisi pasiva, Bank Indonesia menyediakan dana talangan untuk pembayaran simpanan dana para nasabah BDL sebesar Rp5,6 triliun. Dana talangan tersebut telah dialihkan kepada Pemerintah sebesar Rp5,3 triliun, setelah dikurangi jumlah yang berhasil ditagih oleh Tim Likuidasi. Sampai dengan bulan September 1999, dari hasil pencairan aset yang berasal dari penagihan kredit dan penjualan aktiva tetap serta inventaris bank, sebagian digunakan untuk mengangsur pengembalian dana talangan Pemerintah sebesar Rp0,4 triliun sehingga sisa dana talangan perposisi September 1999 sebesar Rp4,9 triliun. Sementara itu Tim Likuidasi terus mengupayakan penjualan aset serta penagihan kredit macet BDL untuk melunasi kewajiban BDL lainnya.
Rendahnya realisasi pencairan aset BDL disebabkan berbagai kendala antara lain :
(i) sulitnya menjual aset BDL yang sebagian besar merupakan properti baik berupa harta tetap milik bank maupun agunan kredit;
(ii) sebagian kredit yang tergolong bermasalah karena pengikatan hukum terhadap barang jaminannya sangat lemah disamping nilai jaminan yang diserahkan kepada bank tidak mencukupi;
(iii) dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengeksekusi penagihan kredit dan pencairan aset sehingga hasil penjualan bersih tidak mencapai jumlah yang diinginkan;
(iv) Tim Likuidasi tidak memiliki kewenangan hukum yang cukup kuat seperti BPPN, sehingga setiap proses penagihan kredit maupun pencairan aset harus menempuh prosedur hukum yang penyelesaiannya memakan waktu lama.
Mengingat masa tugas Tim Likuidasi masih beberapa tahun lagi (selambat-lambatnya
tahun 2002), diharapkan dalam jangka waktu tersebut upaya penagihan aset/kredit yang dapat digunakan untuk mengembalikan dana Pemerintah dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu akan dilakukan intensifikasi tugas
5. Lemahnya Sistem Pengawasan
Kelemahan manajemen terlihat antara lain dari belum efektifnya pengawasan intern bank dan sistem informasi yang relatif terbatas sehingga pelaksanaan self-regulatory banking yang telah dicanangkan dalam beberapa tahun terakhir belum berkembang dengan baik. Hal ini tercermin dari adanya banykanya pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian meningkat, kecukupan likuiditas dan permodalan perbankan menurun drastis, dan ketergantungan perbankan kepada bantuan likuiditas dari Bank Indonesia naik tajam.
Kelemahan ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang pada perbankan sehingga mendorong peningkatan risiko kegagalan perbankan. Lebih dari itu, kelemahan tersebut juga mendorong pemberian kredit yang terkonsentrasi hanya kepada beberapa debitur, khususnya pada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank. Konsentrasi kredit tersebut telah mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan terhadap kelangsungan usaha debitur dimaksud sehingga krisis yang juga melanda usaha debitur telah memperburuk kinerja perbankan secara keseluruhan.
Sementara itu, belum jelasnya mekanisme penyelesaian bank-bank bermasalah, khususnya exit mechanism, telah menimbulkan moral hazard yang mengarah pada perilaku mengambil risiko tinggi di kalangan perbankan. Tidak adanya sistem penjaminan terhadap simpanan masyarakat telah mengharuskan bank sentral memberikan jaminan terselubung (implicit guarantee) atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan. Selain itu, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia masih kurang efektif terutama karena lemahnya law enforcement dan kurangnya independensi bank sentral. Hal ini diperburuk dengan masih terbatasnya informasi yang tersedia bagi masyarakat mengenai kondisi keuangan suatu bank sehingga kontrol masyarakat terhadap perkembangan perbankan tidak berjalan dengan semestinya.
ETIKA BISNIS DAN MASALAHNYA
Bahwa keadaan tersebut diatas bisa dikatakan berawal dari masalah besar dalam dunia bisnis kita diberbagai sektor kegiatan yang ternyata diliputi oleh berbagai tindakan yang mencerminkan rendahnya etika bisnis. Bahwa istilah KKN juga berkaitan dengan pelanggaran etika bisnis yang sangat elementer. Rasa malu, sudah dirasakan hampir tidak ada. Semua dilihat dari keuntungan materi, finansial yang sangat berjangka pendek. Karenanya praktek bisnis seperti ini sangat mencerminkan kerakusan dan menghasilkan produk yang tidak kompetitif dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan output yang dihasilkan sangat tidak efesien. Secara lebih rinci bisa dilihat, antara lain sebagai berikut ;
Rendahnya Kejujuran. Hal ini banyak terjadi dalam perjalanan kegiatan dunia usaha di negeri kita. Banyak pelaksana bisnis yang mengutamakan keuntungan fiansial dalam jangka pendek, sehingga mengabaikan kejujuran. Tidak bersikap benar, tulus, jernih, langsung, hati terbuka. Dalam langkah bisnisnya cenderung menipu, mencuri, berbohong, memperdayai konsumen, pelanggan, maupun pemerintah.
Tidak memiliki Integritas. Dalam melakukan bisnisnya prinsip utamanya hanya uang dan untung jangka pendek, sehingga langkah yang dilakukannya tidak terhormat, tidak adil, berani dan bertindak dengan dorongan penuh muslihat dan tipu daya dan hawa nafsu dan bermuka dua.
Tidak Mematuhi janji. Dalam bersikap tidak mampu bersikap penuh kepercayaan, tidak mampu memenuhi janji, mematuhi komitmen dan tidak berpegang berpegang pada surat perjanjian, seringkali mengintrepretasikan perjanjian secara tidak masuk akal, baik masalah policy maupun hal teknis dalam rangka upaya merasionalkan tindakan-tindakannya yang menyimpang untuk keuntungan sendiri.
Loyalitas kepada keuntungan jangka pendek, Loyalitasnya hanya kepada keuntungan jangka pendek, dalam hal ini uang. Sehingga sangat terdorong untuk bersikap tidak jujur dan tidak loyal kepada keluarga, teman, atasan, klien, dan negara. Dia akan dengan sangat mudah mengungkapkan informasi rahasia, baik dalam konteks profesional, ataupun teknis, sehingga dia tak mampu menjaga pertimbangan profesional dengan tidak berusaha menghindari pengaruh buruk dan konflik kepentingan.
Tidak mampu berbuat adil. Dalam Bersikap cenderung untuk tidak adil dan pikirannya terfokus pada dirinya sendiri, tidak berniat untuk menghapus kekeliruan, dan mau menang sendiri, komitmennya hanya terhadap dirinya dan usahanya saja. Tidak mampu berlaku sama terhadap orang lain, tidak mau menerima dan bertoleransi terhadap perbedaan, sering kali memanfaatkan kesalahan orang lain untuk mendapatkan keuntungannya sendiri.
Tidak peduli pada orang lain. Bersikap tidak peduli, dan kurang berbelas kasihan, tidak mau berbagi rasa, tidak bersikap memberi, melayani orang lain, memberi pertolongan, terutama pada yang bukan kelompok usahanya, ataupun mengabaikan kepentingan masyarakat banyak
Tidak menghargai orang lain. Tidak Menunjukan penghargaan atas kemuliaan manusia, personalitas, dan hak atas orang. Bersikap kurang ramah dan kurang wajar, tidak mau memberikan informasi yang dibutuhkan orang lain untuk membuat keputusannya sendiri; sehingga cenderung merintangi orang lain.
Kurang tanggung jawab. Cenderung untuk tidak menaati hukum, hukum cederung digunakan untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Cederung pula mengakali hukum.Dalam tindakannya cenderung otoriter, tidak mau melaksanakan semua hak-hak dan tanggung jawab demokrasi melalui partisipasi (pemungutan suara dan pengungkapan pendapat), kesadaran sosial dan pelayanan masyarakat. Jika berada dalam posisi memimpin atau memiliki otoritas, tidak menggunakan proses demokrasi secara terbuka dalam pengambilan keputusan, cenderung pula untuk menyembunyikan informasi, tidak transparan.
Cenderung tidak berupaya untuk mencapai yang terbaik, Berupaya menjadi yang terbaik dalam konteks yang salah, artinya yang penting terkenal. Sehingga dalam memenuhi tanggungjawab perorangan dan profesional, tidak bersikap rajin, cenderung malas-malasan, dalam tindakannya seringkali tidak masuk akal, dan kurang tanggung jawab ; melaksanakan tugas dengan ogah-ogahan. Menyerahkan saja pada orang lain dan tidak mampu mengendalian orang-orangnya. Seringkali melakukan dan bertindak untuk hal-hal yang sia-sia.
Tidak memiliki ketanggung-gugatan. Bersikap tidak bertanggung jawab, tidak mau menerima tanggung jawab terhadap keputusannya, tidak memahami lebih dulu konsekuensi tindakan, dan tidak meberikan contoh pada orang lain.
Tidak untuk melindungi dan tidak ada upaya untuk meningkatkan integritas dan reputasi keluarga, perusahaan, profesi dan pemerintah. Seringkali melempar tanggung jawab, apalagi bila menyangkut pada kerugian yang bersifat finansial.
KORUPSI DAN PERMASALAHANNYA.
Bahwa kaitan dari etika bisnis yang parah ini tampak dari maraknya prkatek korupsi, baik di instansi pemerintah, swasta maupun lembaga-lembaga lainnya. Kesemua ini adalah suatu fakta yang tak terbantahkan. Berbagai institusi resmi dan LSM dalam dan luar negeri telah membuat berbagai data, bahasan dsb. Yang meyimpulkan betapa parahnya korupsi di negri ini. Kita semua merasakan bahwa korupsi terjadi hampir disemua bidang kegiatan. Dari mulai urusan pelayanan sosial masyarakat, pemerintahan, bisnis retail, bisnis bersekala sedang, menengah dan besar. Sampai-sampai hal itu sudah dianggap suatu hal yang biasa saja. Berarti moralitas masyarakat kita memang sudah biasa untuk melakukan sogokan untuk memperlancar urusannya.
Upaya pencegahan korupsi yang sudah berjalan selama ini dan bagaimana upaya untuk lebih mendorong keberhasilan pencegahan korupsi.
Telaah khusus yang dibuat BPKP menyebutkan bahwa, Instansi penegak hukum yang memegang tongkat komado pemberatasan korupsi sejak 1967 yaitu Kejaksaan Agung walupun telah bekerja maksimal, ternyata masih memberikan hasil yang menggembirakan masyarakat dan ironisnya Indonesia malah menduduki ranking pertama se-Asia untuk tingkat korupsi menurut versi Transparancy International per April 1999. Sedangkan aparat pengawasan fungsional lainnya mempunyai tugas pokok dan fungsi yang semata-mata tidak diarahkan untuk memberantas korupsi yaitu antara lain itwilprop, Itjen Departemen, BPKP, dan BEPEKA.
Usaha pemberantasan korupsi sebagai isu sentral perlu ditangani secara serius oleh suatu lembaga/badan yang khusus mengingat korupsi mempunyai karakter kompleks, canggih, dan ruwet serta memerlukan keakhlian tertentu menanganinya.
Urgensi perlu tidaknya suatu Badan Anti Korupsi (badan) masih menjadi perdebatan, akan tetapi BPKP tetap akan mengusulkan suatu Komisi atau Badan tersebut. Hal ini ini dudukung pula oleh bahasan Masyarakat Transparansi Indonesia, serta LSM lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar